Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-30, atau COP30, yang bertempat di Belem, para pemimpin dan pakar kembali menegaskan perlunya memperkuat kerja sama Selatan-Selatan untuk memajukan tata kelola iklim di seluruh dunia. Acara ini dimulai pada Senin (10/11) dan menyajikan berbagai diskusi tentang langkah-langkah konkret yang harus diambil.
“Kita berada di sini, di Belem, di muara Sungai Amazon,”
ujar Simon Stiell, sekretaris eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi internasional yang dapat diibaratkan seperti anak sungai yang mengalir mendukung sungai utama, yakni proses COP itu sendiri.
“COP ini harus menjadi titik awal bagi satu dekade percepatan dan aksi nyata,”
ujar Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat membuka KTT Aksi Iklim Para Pemimpin Dunia. Ia menekankan bahwa konferensi ini adalah kesempatan bagi semua pihak untuk menetapkan Belem sebagai titik perubahan penting dalam upaya global menghadapi krisis iklim.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyampaikan harapannya agar pertemuan ini tidak hanya berisi retorika kosong, tetapi menghasilkan komitmen nyata dalam menangani isu lingkungan. Ia mengusulkan pembentukan mekanisme tata kelola baru di bawah kerangka kerja PBB yang dapat mengesahkan sanksi bagi negara-negara yang gagal memenuhi janji mereka.
Kritik muncul terkait absennya pejabat tinggi Amerika Serikat dalam pertemuan ini. Presiden Kolombia Gustavo Petro menyoroti tanggung jawab historis AS sebagai penghasil emisi terbesar dan mengkritik keengganan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya global.
Samuel Spellmann dari Universitas Federal Para menyebut absennya AS sebagai refleksi dari sikap menghindar yang merugikan kemajuan iklim dunia. “Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri,”
ujar Fernando Romero Wimer, dari Universitas Federal Brasil untuk Integrasi Amerika Latin, menyoroti pentingnya solidaritas di antara negara-negara berkembang.
COP30 juga menyoroti kerja sama Selatan-Selatan sebagai fokus utama. Brasil, sebagai tuan rumah, mengajak banyak negara untuk melindungi hutan hujan Amazon. Lula menekankan bahwa di wilayah-wilayah miskin, kolaborasi dalam pengembangan energi terbarukan dapat menghasilkan lapangan kerja sekaligus menanggulangi perubahan iklim.
Kerja sama antara Brasil dan China dalam sektor energi terbarukan menjadi contoh konkret dari aliansi ini. Hingga akhir September, hanya sedikit negara yang memperbarui Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) mereka. China telah melakukan langkah maju dengan menyerahkan NDC 2035 kepada Sekretariat UNFCCC, memperluas target untuk mencakup semua sektor ekonomi.
China juga berkomitmen untuk menyelenggarakan acara “Paviliun China” selama COP30, yang akan membahas berbagai topik terkait perubahan iklim. Leila da Costa Ferreira dari Universitas Campinas menyatakan bahwa solidaritas antar negara berkembang merupakan kunci keberhasilan transisi hijau global.






